Oleh : Achmad Fikri Hehanussa | Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Indonesia
Faktualkini.com — Gelombang demonstrasi yang berlangsung di Indonesia pada akhir Agustus 2025 merupakan salah satu peristiwa politik dan sosial yang memperlihatkan rapuhnya hubungan antara negara dan rakyat. Tragedi yang menewaskan setidaknya beberapa orang, mulai dari masa aksi, aprat yang bertugas, serta seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan ya, telah menjadi simbol krisis legitimasi negara hukum. Peristiwa ini tidak dapat dipandang hanya sebagai insiden politik atau sekadar protes massa atas kebijakan tunjangan anggota DPR, melainkan harus dibaca sebagai akumulasi kekecewaan mendalam yang bersumber dari kesenjangan ekonomi, kegagalan representasi politik, serta lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
Pemicu awal demonstrasi ini adalah rencana pemberian tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta bagi anggota DPR. Kebijakan ini dianggap sangat timpang dengan kondisi mayoritas rakyat yang tengah menghadapi tekanan ekonomi. Dalam perspektif teori demokrasi deliberatif sebagaimana dikemukakan Jürgen Habermas, kebijakan publik seharusnya lahir dari proses komunikasi yang rasional, terbuka, dan melibatkan aspirasi masyarakat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, yakni adanya keputusan yang menunjukkan gejala elit capture di mana kepentingan kelompok elite politik jauh lebih diutamakan dibanding kepentingan rakyat. Ketidakadilan distributif inilah yang kemudian menjadi bahan bakar awal kemarahan publik. John Rawls dalam teori keadilannya menekankan bahwa prinsip kesetaraan dan kesempatan yang adil adalah prasyarat legitimasi politik. Saat kebijakan publik melanggar prinsip tersebut, masyarakat tidak lagi melihat keputusan politik sebagai sesuatu yang sah secara moral.
Tragedi semakin membesar ketika aparat keamanan menggunakan pendekatan represif. Kematian Affan Kurniawan yang bukan bagian dari massa demonstran, melainkan warga sipil biasa yang sedang melintas, menjadi gambaran nyata bagaimana aparat gagal menjalankan fungsi perlindungan. Peristiwa ini bukanlah kejadian tunggal dalam sejarah Indonesia, pola kekerasan aparat telah berulang sejak peristiwa 1998, 2019, 2020, hingga 2025. Gustav Radbruch dalam teori hukum menegaskan bahwa hukum yang hanya mengutamakan kepastian formal tetapi mengabaikan keadilan substantif akan menjelma menjadi instrumen kekuasaan semata. Dalam konteks ini, tindakan represif aparat memperlihatkan wajah negara yang lebih menekankan stabilitas ketimbang penghormatan pada hak-hak warga negara. Permintaan maaf institusional dari kepolisian dan penetapan tersangka memang secara prosedural merupakan langkah awal, tetapi pertanyaan fundamental tetap menggantung; apakah langkah ini sungguh merupakan mekanisme pertanggungjawaban struktural, atau hanya sekadar cara untuk meredam kemarahan publik tanpa menyentuh akar budaya kekerasan aparat?
Eskalasi demonstrasi yang kemudian meluas ke berbagai kota, termasuk pembakaran gedung DPRD di Makassar yang menewaskan tiga orang, menandakan bahwa kemarahan publik tidak lagi terbatas pada isu kebijakan DPR, melainkan telah menjadi ekspresi ketidakpuasan yang bersifat struktural. Dalam teori perilaku kolektif Neil Smelser, kerusuhan sosial dapat dipahami sebagai hasil pertemuan antara tekanan struktural, keyakinan umum akan adanya ketidakadilan, serta pemicu konkret yang menyalakan ledakan sosial. Dalam kasus ini, kebijakan DPR adalah tekanan struktural, narasi ketidakadilan ekonomi dan politik adalah keyakinan umum, dan insiden kematian Affan adalah faktor pemicu yang mempercepat terjadinya kerusuhan berskala luas. Hal ini menunjukkan bahwa demonstrasi tersebut memiliki akar yang jauh lebih dalam dibanding sekadar protes spontan.
Krisis ini juga memiliki dimensi ekonomi yang signifikan. Anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), melemahnya nilai tukar rupiah, serta terhentinya operasional transportasi publik dan bisnis di sejumlah kota besar memperlihatkan bahwa ketidakstabilan politik segera berimbas pada ketidakpastian ekonomi. Negara yang menurut Pasal 33 UUD 1945 seharusnya menjamin kesejahteraan rakyat justru memperlihatkan kegagalan dalam menjaga rasa aman sosial-ekonomi masyarakat. Legitimasi ekonomi negara goyah bukan hanya karena demonstrasi itu sendiri, tetapi karena rakyat melihat bahwa keputusan elitis yang jauh dari rasa keadilan sosial telah menjadi sumber dari ketidakstabilan tersebut.
Tragedi Demonstrasi ini juga menguji makna sejati dari konsep negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum tidak hanya berarti penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan aturan tertulis, tetapi juga kewajiban moral untuk melindungi hak hidup, kebebasan berekspresi, dan kesejahteraan warganya. Bernard Arief Sidharta menekankan bahwa hukum yang sahih tidak cukup hanya legitimate secara formal, tetapi juga harus legitimate secara moral dan sosial di hadapan rakyat. Jika aparat justru melanggar hak-hak dasar warga negara dan kebijakan publik hanya memperkaya segelintir elite, maka yang terjadi bukanlah negara hukum dalam arti substantif, melainkan negara hukum dalam arti prosedural yang kehilangan makna keadilan.
Dalam konteks inilah, tragedi tersebut seharusnya dibaca sebagai sinyal korektif, bukan sekadar ancaman keamanan nasional. Pemerintah harus melihat bahwa demonstrasi yang berujung tragis merupakan refleksi dari akumulasi kekecewaan sosial dan defisit legitimasi politik. Jalan keluar dari krisis ini bukanlah dengan memperbesar represi atau menutup ruang ekspresi, melainkan dengan mereformasi secara serius kebijakan publik agar berpihak kepada rakyat, melakukan reformasi kultur seluruh aparat pengakan hukum agar tidak lagi menjadi sumber ketakutan, serta mengembalikan kepercayaan publik dengan langkah-langkah nyata, bukan sekadar retorika.
Tragedi ini menjadi cermin bagi Indonesia, apakah bangsa ini akan setia pada janji konstitusi untuk menjadi negara hukum yang menjunjung keadilan sosial bagi seluruh rakyat, atau justru terus terjebak dalam lingkaran kekerasan, ketidakadilan, dan krisis legitimasi. Jika negara gagal mengambil pelajaran, maka luka sosial yang lahir dari peristiwa ini hanya akan menjadi bara yang sewaktu-waktu kembali menyala, dan demokrasi konstitusional Indonesia akan kehilangan makna sejatinya.