Photo Risno Ibrahim Fungsionaris PB HMI
Faktualkini.com — Setiap kali rakyat turun ke jalan, ada pola narasi yang segera muncul: demonstrasi dianggap biang kerusakan, perusakan fasilitas publik dijadikan bukti kebiadaban massa, dan korban aparat dibesar-besarkan untuk menggiring opini bahwa rakyatlah yang bersalah. Namun, siapa yang berani bertanya: berapa yang telah diambil, dirusak, dan dibunuh oleh kekuasaan secara diam-diam?
Narasi tunggal yang menyalahkan demonstrasi sering kali mengabaikan kenyataan lebih besar. Gedung terbakar dalam satu malam memang mudah dihitung. Kaca pecah, kursi rusak, dan kendaraan hangus dapat dijumlahkan dalam hitungan jam. Tetapi bagaimana dengan sumber daya alam yang dirampas oleh segelintir elit dengan restu negara? Bagaimana dengan generasi yang kehilangan masa depannya akibat korupsi pendidikan? Bagaimana dengan petani yang mati pelan-pelan karena tanahnya dirampas untuk proyek tambang? Itu semua jarang masuk dalam kalkulasi resmi negara.
Byung-Chul Han menulis bahwa kekuasaan hari ini bekerja bukan hanya dengan represi, tetapi melalui kekerasan halus—violence of positivity—yang membuat ketidakadilan tampak normal, bahkan tak terlihat. Inilah yang sedang terjadi. Negara cepat sekali menuding rakyat sebagai biang kerok, tetapi lambat menghitung kerusakan yang ia produksi sendiri.
Mari kita lakukan hitungan sederhana, meski pada akhirnya mustahil. Jika setiap rupiah yang dikorupsi pejabat negara ditulis dalam selembar kertas, kertas itu akan menumpuk setinggi gunung, menjulang melebihi Monas, bahkan menutupi cakrawala republik. Jika setiap tanah rakyat yang dirampas diberi tanda merah di peta, maka peta Indonesia akan berubah warna, tak lagi hijau dan biru, melainkan merah luka.
Jika setiap nyawa yang hilang akibat kekerasan negara ditulis dalam satu nama, maka buku sejarah kita tak akan cukup halaman. Kita memerlukan berjilid-jilid ensiklopedia, dan tetap saja akan ada nama yang tercecer, ada korban yang tak sempat dituliskan. Jika setiap darah rakyat yang tumpah berubah menjadi tinta, maka lautan Nusantara pun tak akan cukup untuk menampungnya. Dan jika setiap air mata ibu yang kehilangan anak karena peluru aparat dikumpulkan, maka akan terbentuk sungai baru yang mengalir di antara gunung dan kota.
David Harvey menyebut proses ini sebagai accumulation by dispossession—akumulasi melalui perampasan. Kekuasaan merampas tanah, waktu, bahkan tubuh rakyat demi mempertahankan keuntungan segelintir elit. Demonstrasi yang kemudian membakar gedung hanyalah respons atas perampasan itu. Brutal memang, tapi bukankah jauh lebih brutal perampasan sistematis yang dibiarkan negara?
Judith Butler mengingatkan bahwa politik harus bertanya: kehidupan siapa yang dianggap layak ditangisi (grievable) dan kehidupan siapa yang diabaikan. Korban aparat selalu ditonjolkan, tetapi bagaimana dengan buruh yang mati karena kelelahan, anak yang meninggal karena gizi buruk, atau mahasiswa yang tewas ditembak aparat? Jika kehidupan rakyat tidak dianggap penting, maka hitungan negara sesungguhnya cacat sejak awal.
Dengan perspektif ini, tuduhan terhadap demonstrasi menjadi timpang. Membakar gedung mungkin terlihat brutal, tetapi bukankah negara juga telah membakar harapan rakyat setiap hari dengan kebijakan yang timpang? Merusak fasilitas publik memang merugikan, tetapi bukankah fasilitas dasar rakyat—pendidikan, kesehatan, dan tanah—jauh lebih dulu dirusak oleh kekuasaan? Korban aparat memang harus dihormati, tetapi bukankah lebih banyak korban sipil yang hilang tanpa pernah tercatat?
Karenanya, menyalahkan demonstrasi secara mutlak sama saja menutup mata terhadap akar persoalan. Demonstrasi adalah bahasa terakhir ketika pintu-pintu aspirasi lain ditutup. Kekerasan di jalanan, kata Butler, adalah tanda dari tubuh-tubuh yang menolak dilupakan. Pertanyaan pentingnya bukan mengapa demonstrasi berujung bentrok, tetapi mengapa negara gagal mencegahnya dengan membuka ruang keadilan?
Hitungan ini memang mustahil diselesaikan dengan kalkulator. Ia hanya bisa dihitung dengan hati, dengan keberanian untuk menyebut nama-nama korban yang sengaja dihapus dari buku sejarah. Jika negara hanya sibuk menghitung kaca gedung yang pecah, maka rakyat akan terus mengingat berapa banyak jiwa yang retak, berapa banyak mimpi yang dirampas, dan berapa banyak keadilan yang dibunuh secara diam-diam.
Maka, sebelum terburu-buru menyalahkan rakyat di jalan, negara perlu bercermin. Sebab dalam setiap api yang menyala di gedung-gedung, ada bara lama yang disulut oleh ketidakadilan. Dalam setiap kursi yang hancur, ada simbol bahwa kursi kekuasaanlah yang lebih dulu retak karena pengkhianatan. Dan dalam setiap bentrokan yang memakan korban, ada peringatan bahwa rakyat sedang menghitung sesuatu yang negara enggan catat: harga dari keadilan yang tak kunjung datang.