Oleh : Heno Angkotasan
Faktualkini.com, Jakarta – Kehadiran organisasi perantau umumnya dipandang sebagai tumpuan harapan, bukan hanya menjadi wadah silaturahmi, melainkan juga ruang berkembang bagi solidaritas, kreativitas, dan lahirnya karya nyata. Hal ini pula yang menjadikan Garda Maningkamu Pelauw (GMP) Jabodetabek sebagai tempat bernaung bagi anak-anak negeri di rantau yang membutuhkan dukungan moral maupun sosial.
Namun, dinamika internal yang kian mengemuka akhir-akhir ini menunjukkan adanya ancaman dualisme kepemimpinan. Situasi tersebut secara perlahan menggeser orientasi organisasi dari upaya progresif menuju tarik-menarik kepentingan yang justru menguras energi bersama. Ketegangan ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya fokus organisasi sebagai ruang kolaboratif yang menumbuhkan kebersamaan.
Dalam kepemimpinan Bang Mithun Latuconsina, tantangan terbesar GMP terletak pada kemampuan melampaui sekat-sekat internal. Organisasi perantau semestinya berdiri sebagai wadah kerahiman, yakni tempat yang menumbuhkan semangat saling menopang dan menguatkan, bukan arena persaingan kepentingan. Pemimpin dalam posisi ini dituntut untuk menghadirkan solusi yang inklusif dan menenangkan, sehingga GMP tetap berjalan di atas rel progresif yang telah dirintis.
Sejarah menunjukkan bahwa konflik dalam komunitas perantau sering kali bersumber dari ego personal. Namun, organisasi yang matang seharusnya dapat mengelola perbedaan tersebut menjadi kekuatan yang memperkuat soliditas. GMP tidak boleh terjebak pada pola lama yang identik dengan perpecahan. Sebaliknya, organisasi ini harus menjadi teladan bagaimana konflik dapat dikelola secara produktif demi menjaga keberlangsungan tujuan awal.
Kawasan Jabodetabek sendiri merupakan ruang kompetitif dengan berbagai tuntutan. Banyak anak Pelauw yang datang untuk menempuh pendidikan, mengembangkan karier, maupun membuka usaha. Dalam konteks ini, GMP dituntut hadir sebagai penopang moral sekaligus wadah penguatan kapasitas anggota. Kerja nyata dalam bentuk program pendidikan, pengembangan keterampilan, maupun kegiatan sosial perlu menjadi prioritas agar organisasi memiliki relevansi bagi generasi muda perantau.
Nilai kerahiman yang selama ini menjadi ciri khas GMP harus terus dijaga. Kerahiman bukan sekadar jargon, tetapi wujud nyata sikap saling mengasihi, peduli, serta memberi dukungan di tanah rantau. Nilai inilah yang membedakan GMP dari perkumpulan biasa. Jika dualisme dibiarkan berkembang, nilai kerahiman tersebut akan terkikis oleh kecurigaan, pengelompokan, bahkan menjauhkan anggota dari organisasi. Akibatnya, GMP bisa kehilangan legitimasi dan kepercayaan publik.
Kepemimpinan Bang Mithun Latuconsina dituntut untuk lebih tegas dalam mengarahkan organisasi. Agenda progres harus ditempatkan jauh di atas kepentingan pribadi maupun kelompok. Pemimpin sejati lahir bukan dari kompromi sempit, melainkan dari keberanian merangkul semua pihak dengan semangat keterbukaan. GMP dapat belajar dari organisasi perantau lain yang berhasil memperkuat eksistensinya melalui fokus pada pendidikan, keterampilan, dan program sosial.
Dualisme pada dasarnya membawa risiko besar, tidak hanya memecah belah, tetapi juga melumpuhkan kreativitas organisasi. Energi yang seharusnya diarahkan untuk membangun karya sosial justru terkuras dalam pertikaian internal. GMP perlu memahami bahwa sejarah hanya mencatat pencapaian, bukan konflik, dan eksistensi organisasi akan selalu diukur dari kontribusi yang ditinggalkan.
Oleh sebab itu, penting bagi seluruh anggota GMP Jabodetabek untuk kembali merefleksikan tujuan awal pendirian organisasi ini, yakni sebagai wadah Kerahiman. Bang Mithun Latuconsina sebagai ketua umum harus mampu menjaga marwah organisasi dengan menegaskan bahwa GMP bukan milik individu atau kelompok tertentu, melainkan milik bersama. Dengan sikap tersebut, seluruh anggota akan merasa diakui sebagai bagian dari keluarga besar, bukan sekadar pengikut kubu.
Kepemimpinan dalam organisasi sosial menuntut kearifan, yang lebih mengedepankan sikap mengayomi ketimbang mendominasi. Dalam era saat ini, masyarakat tidak lagi menilai organisasi hanya dari retorika, tetapi dari aksi nyata yang menunjukkan keberpihakan pada pendidikan, kesejahteraan, dan kepedulian sosial. GMP harus menjawab tantangan ini dengan konsistensi karya, bukan konflik.
Perbedaan pandangan di dalam organisasi sah adanya, namun harus dikelola melalui musyawarah, bukan perpecahan. GMP dituntut menjadi teladan bagi generasi muda dalam mengelola konflik secara dewasa dan bermartabat. Karya sosial, program pendidikan, serta pengembangan kapasitas anggota semestinya menjadi prioritas yang menguatkan identitas organisasi sebagai komunitas progresif.
Dalam persepsi publik, organisasi perantau hanya akan dikenang jika memberi manfaat nyata. Konflik internal tidak pernah menjadi warisan berharga, yang akan abadi hanyalah kontribusi sosial yang melahirkan solidaritas antargenerasi. GMP Jabodetabek memiliki potensi besar untuk tumbuh sebagai kekuatan penting jika dikelola dengan visi yang inklusif, jernih, dan berorientasi karya.
Harapan ini harus diwujudkan di bawah kepemimpinan Bang Mithun Latuconsina. GMP mesti berani menutup bab dualisme dan membuka lembar progres baru. Pada akhirnya, GMP adalah rumah kerahiman yang hanya dapat berdiri kokoh melalui karya kolektif, bukan melalui pertikaian internal.