Sumber Photo Google
Oleh : Heno Angkotasan |Direktur Eksekutif Rumah Ide Demokrasi
Faktualkini.com — Nama Riza Chalid sudah lama menjadi simbol gelap dunia migas Indonesia. Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia hadir sebagai aktor tak resmi namun amat berpengaruh. Riza bukan pejabat negara, tetapi mampu mengendalikan kebijakan impor minyak dan tender strategis seolah berada di atas regulasi.
Di masa SBY, berbagai dugaan praktik mafia migas muncul ke publik. Namun, semua jeratan hukum yang diarahkan kepadanya selalu meleset. Tak pernah ada proses peradilan yang menyentuh sosok ini, sehingga muncul keyakinan bahwa Riza memiliki perlindungan politik tingkat tinggi.
Memasuki era Jokowi, publik sempat menaruh harapan akan ada pembersihan besar-besaran di tubuh Pertamina. Namun kenyataan justru memperlihatkan betapa kuatnya cengkeraman lama. Riza tetap melenggang, bahkan ikut menentukan siapa yang mendapat akses dalam rantai pasok energi nasional.
Bayangan Riza makin menebal ketika berbagai kebijakan strategis terkait BBM seolah menguntungkan jaringan tertentu. Rakyat kecil hanya tahu harga minyak naik-turun, tetapi di baliknya, ada permainan besar yang mengatur siapa yang kaya dan siapa yang sengsara.
Lama-kelamaan, publik menjadi skeptis. Dua presiden telah berganti, namun mafia migas tetap bercokol. Negara seakan kalah telak menghadapi satu orang dengan jaringan oligarki raksasa. Dari sinilah muncul pandangan bahwa mafia migas adalah “negara dalam negara”.
Namun, sejarah mencatat bahwa setiap rezim punya titik balik. Saat Prabowo Subianto resmi menjadi presiden, lanskap kekuasaan migas perlahan bergeser. Karakter keras Prabowo, ditopang narasi nasionalisme energi, memberi sinyal bahwa era ketakutan terhadap mafia minyak akan diakhiri.
Prabowo bukan tipe pemimpin yang nyaman berkompromi dengan rente. Di hadapan publik, ia mengirim pesan keras: mafia migas harus tumbang. Pesan itu segera ditafsirkan sebagai ancaman langsung bagi Riza, simbol dari sistem yang selama ini tak tersentuh.
Ketegangan mulai terasa. Kabar mengenai proses hukum dan pembatasan akses bisnis Riza menyebar. Publik bersorak: akhirnya, seorang presiden berani menghadapi goliath migas. Tetapi dalam dunia oligarki, tidak ada perlawanan tanpa balasan.
Riza mungkin jatuh, tetapi jejaring yang selama ini ia bangun tentu tidak rela kehilangan sumber rente. Mereka bersiap menyerang balik dengan cara apapun, bahkan jika harus memakai jalan politik sebagai arena pertempuran.
Maka kejatuhan Riza tidak sekadar akhir dari satu nama besar, melainkan awal dari pertarungan baru: pertarungan antara negara dan oligarki yang selama ini bersembunyi di balik parlemen, kementerian, dan jaring-jaring bisnis global.
Demonstrasi dan Amarah Jalanan
Tak lama setelah langkah Prabowo melawan mafia migas, jalanan Indonesia mendidih. Ribuan mahasiswa, buruh, pengemudi ojol, dan rakyat miskin kota memenuhi ibu kota. Slogan “Bubarkan DPR” bergema dari mulut ke mulut, dari spanduk hingga media sosial.
Sekilas, tuntutan massa berakar pada isu kesejahteraan: kenaikan tunjangan DPR, naiknya pajak, dan harga kebutuhan pokok yang kian menghimpit. Namun jika dilihat lebih dalam, demonstrasi ini membawa nuansa politik yang lebih pekat daripada sekadar protes ekonomi.
DPR menjadi sasaran utama. Gedung parlemen dilempari, pagar dibakar, bahkan rumah pribadi anggota dewan dan sejumlah menteri diserang. Amarah publik seperti meledak tanpa kendali, berubah menjadi gelombang pembakaran dan penjarahan.
Namun terlalu naif jika menganggap kerusuhan sebesar itu terjadi murni spontan. Terlalu rapi, terlalu terorganisir. Sejumlah analis mencium adanya skenario tersembunyi: massa memang marah, tapi kemarahan itu diarahkan dan dipicu oleh elit yang punya kepentingan lebih besar.
Dugaan itu masuk akal. Tumbangnya Riza berarti terputusnya jalur rente bagi banyak kalangan. Mereka yang kehilangan sumber keuntungan tentu tidak tinggal diam. Cara klasik pun ditempuh: mengguncang legitimasi presiden lewat gerakan jalanan.
Aksi massa yang awalnya sah berubah menjadi chaos. Agenda rakyat bercampur dengan agenda oligarki. Rakyat berteriak soal harga kebutuhan, elit berbisik soal menggulingkan presiden. Di tengah hiruk pikuk itu, sulit dibedakan mana suara asli rakyat, mana rekayasa politik.
Pemerintah pun berada dalam posisi sulit. Jika aparat terlalu keras, Prabowo dituduh otoriter. Jika terlalu lunak, kerusuhan semakin meluas. Seolah semua langkah yang diambil presiden selalu dipelintir untuk merusak citranya.
Situasi ini memperlihatkan rapuhnya fondasi politik Indonesia. Lembaga legislatif kehilangan legitimasi, eksekutif dihantam tekanan, dan rakyat menjadi pion dalam permainan yang lebih besar. Api di jalanan sesungguhnya adalah refleksi dari api pertarungan di ruang elit.
Namun satu hal yang tak terbantahkan: teriakan “Bubarkan DPR” menunjukkan jurang yang makin lebar antara rakyat dan wakilnya. DPR dianggap hanya mewakili oligarki, bukan rakyat yang memilih mereka. Ini adalah krisis kepercayaan paling serius pascareformasi.
Jika dibiarkan, amarah rakyat bisa menjadi bara yang melahap legitimasi semua institusi politik. Dan bila itu terjadi, oligarki hanya tinggal menuai keuntungan dari runtuhnya kepercayaan publik pada demokrasi.
Pertarungan melawan mafia minyak kini menjadi pertaruhan masa depan republik. Tumbangnya Riza Chalid memang penting secara simbolik, tetapi yang lebih penting adalah apakah negara sanggup melawan balasan dari jejaring oligarki yang lebih luas.
Jika Prabowo mampu bertahan melewati badai demonstrasi dan manuver elit, Indonesia berpeluang memutus siklus lama: dominasi oligarki yang menghisap energi bangsa. Namun jika ia gagal, negeri ini akan kembali pada putaran sejarah yang muram dimana mafia tetap berjaya, dan rakyat terus menjadi korban.
Republik kini berada di persimpangan sejarah. Api di jalanan, teriakan “Bubarkan DPR”, serta runtuhnya aura kebal mafia minyak akan menentukan arah baru. Apakah Indonesia akan benar-benar menjadi negara berdaulat atas energinya, atau tetap menjadi ladang empuk bagi segelintir elit? Jawabannya sedang ditulis hari ini, di tengah asap demonstrasi yang masih mengepul.