Oleh : Heno Angkotasan (Direktur Eksekutif Rumah Ide Demokrasi)
Faktualkini.com — Langkah politik terbaru yang ramai diperbincangkan adalah pengnonaktifan sejumlah anggota DPR RI dari kursi mereka. Nama-nama besar seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, Surya Utama atau Uya Kuya, hingga Adies Kadir masuk dalam daftar. Mereka berasal dari fraksi yang berbeda, namun digiring pada nasib serupa: dinonaktifkan dari jabatan yang mereka peroleh melalui mandat rakyat.
Kebijakan itu muncul sebagai buntut dari demonstrasi yang tak terbendung di Senayan. Massa yang terdiri dari mahasiswa, buruh, dan kelompok masyarakat sipil menuntut pertanggungjawaban DPR atas berbagai kebijakan kontroversial. Dalam kepanikan, sejumlah partai politik justru mengambil jalan pintas dengan menonaktifkan kader mereka yang duduk di parlemen, seolah itu solusi meredam amarah publik.
Padahal, secara hukum, langkah tersebut tidak memiliki pijakan yang jelas. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sama sekali tidak mengatur mekanisme “nonaktif” bagi anggota DPR. Yang diatur hanya pemberhentian tetap melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW), dengan syarat tertentu yang jelas diatur.
Pasal 239 ayat (1) UU MD3 menyebutkan secara tegas: “Anggota DPR berhenti antar waktu karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.” Tidak ada satu pun kalimat yang memberi celah pada istilah “nonaktif sementara.”
Lebih lanjut, Pasal 239 ayat (2) menegaskan bahwa pemberhentian anggota DPR dapat terjadi jika terbukti melanggar sumpah/janji, tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota, atau melanggar kode etik. Semua itu harus dibuktikan melalui mekanisme resmi, bukan karena tekanan massa atau keputusan sepihak partai politik.
Inilah yang membuat langkah partai-partai politik tersebut terasa gegabah, bahkan cenderung melawan hukum. DPR adalah lembaga tinggi negara. Anggota DPR adalah representasi rakyat yang dipilih melalui pemilu. Mengabaikan UU MD3 sama saja dengan mengkhianati suara rakyat yang telah menitipkan mandat politik kepada para legislator itu.
Kita perlu bertanya: siapa yang berhak mencabut atau membekukan mandat rakyat? Apakah partai politik semata-mata bisa melakukannya hanya karena tekanan demonstrasi? Ataukah harus tetap melalui mekanisme hukum yang sah sebagaimana tertuang dalam Pasal 240 hingga Pasal 242 UU MD3?
Lebih jauh, tindakan ini juga bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) secara tegas menuliskan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Artinya, suara rakyat yang diwujudkan lewat pemilu hanya bisa dibatalkan melalui mekanisme konstitusional, bukan lewat keputusan sepihak partai.
DPR bukanlah milik partai politik semata. Mereka adalah lembaga yang mendapatkan legitimasi langsung dari pemilu, yang dilaksanakan oleh KPU dan diawasi oleh Bawaslu serta Mahkamah Konstitusi. Bila anggota DPR bisa dinonaktifkan hanya karena “tekanan politik”, maka sistem pemilu yang mahal dan melelahkan itu seakan kehilangan arti.
Kasus ini juga menimbulkan preseden berbahaya. Jika hari ini Ahmad Sahroni dan kawan-kawan bisa dinonaktifkan tanpa dasar hukum, esok lusa anggota lain bisa bernasib sama hanya karena tak sejalan dengan kepentingan partai atau tekanan publik. Demokrasi yang sehat tidak bisa berjalan di atas kebijakan serampangan seperti itu.
UU MD3 jelas mengatur syarat pemberhentian anggota DPR. Pasal 239 sampai Pasal 243 menyusun kerangka hukum yang rinci, termasuk mekanisme pergantian antarwaktu yang melibatkan partai politik, KPU, dan Presiden. Tidak ada pasal yang menyebutkan “nonaktif sementara” hanya karena isu politik atau demonstrasi.
Ironisnya, langkah partai politik ini dilakukan justru ketika demonstrasi publik menuntut agar DPR lebih transparan, akuntabel, dan berpihak pada rakyat. Alih-alih memperbaiki kinerja, partai justru menambah masalah dengan melanggar aturan yang mereka buat sendiri.
Nama-nama seperti Eko Patrio dan Uya Kuya mungkin lebih dikenal publik sebagai figur hiburan. Tetapi begitu mereka duduk di DPR, posisi mereka sama dengan politisi lain: mereka dilantik dan diambil sumpahnya sebagai wakil rakyat. Menggeser mereka dengan mekanisme nonaktif hanyalah bentuk penghinaan terhadap proses demokrasi.
Adies Kadir, salah satu nama yang masuk daftar, justru dikenal sebagai politikus kawakan yang kerap menguasai forum. Jika dirinya pun bisa begitu saja dinonaktifkan tanpa dasar hukum, maka tidak ada jaminan bagi siapa pun di DPR untuk aman dari tindakan serupa.
Publik mungkin tidak menyukai semua kebijakan DPR, tapi publik juga tidak bisa menerima bahwa solusi atas ketidakpuasan itu adalah menabrak undang-undang. Negara hukum tidak boleh bekerja dengan prinsip asal-asalan.
Apalagi, DPR seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menjaga konstitusi. Bagaimana mungkin lembaga yang mestinya membuat hukum justru membiarkan partai politik melanggar hukum? Ini ibarat polisi yang ikut merampok, atau hakim yang terang-terangan berbohong di ruang sidang.
Partai politik barangkali menganggap langkah nonaktif ini sekadar strategi meredam demonstrasi. Namun, sesungguhnya mereka justru menambah bara api. Demonstrasi lahir karena ketidakpercayaan publik. Tindakan melawan UU hanya akan memperdalam ketidakpercayaan itu.
Bagi mahasiswa dan kelompok sipil, ini menjadi bukti nyata bahwa partai politik di Indonesia masih gemar bermain-main dengan aturan. Mereka bisa seenaknya mengubah tafsir hukum demi kepentingan jangka pendek.
Yang lebih mengkhawatirkan, praktik ini bisa menyulut konflik internal. Anggota DPR yang dinonaktifkan tentu tidak akan tinggal diam. Mereka bisa menggugat partai ke pengadilan atau mengajukan sengketa ke Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana diatur dalam Pasal 119 UU MD3. Bila ini terjadi, wajah politik kita semakin tercoreng.
Fenomena ini juga memperlihatkan betapa lemahnya disiplin hukum dalam tubuh partai politik. Partai seolah lupa bahwa mereka sendiri adalah institusi yang diatur ketat oleh undang-undang.
Jika DPR yang merupakan simbol demokrasi saja bisa diperlakukan seperti ini, bagaimana nasib lembaga lain? Bagaimana nasib rakyat kecil yang tidak punya akses kuasa? Hukum bisa makin kehilangan wibawa di mata publik.
Seharusnya, jalan yang ditempuh partai politik adalah menempuh mekanisme yang sah. Jika memang ada anggota DPR yang dianggap gagal atau melanggar aturan, lakukanlah PAW sesuai Pasal 239 ayat (2) jo. Pasal 242 UU MD3. Jangan menciptakan istilah “nonaktif” yang tidak ada dalam hukum.
Satu hal yang pasti: demokrasi Indonesia sedang diuji. Jika hukum bisa dilanggar dengan mudah oleh mereka yang seharusnya menjaganya, maka kedaulatan rakyat hanya tinggal slogan. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 jelas menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan partai. Nonaktifkan anggota DPR tanpa dasar hukum bukan sekadar salah prosedur, melainkan penghianatan terhadap konstitusi.