Oleh : Amalia Azmi Sitorus S.Pd.,M.I.Kom (Dosen Komunikasi Universitas Pamulang)
Faktualkini.com — Demokrasi Indonesia hari ini berada di persimpangan gelap yang semakin mengkhawatirkan. Ketika seharusnya DPR menjadi wakil dan suara rakyat, kenyataannya justru menjadi biang kerok ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat sendiri. Perilaku dzolim anggota DPR yang mengabaikan suara rakyat tidak hanya memicu kemarahan, tetapi juga menimbulkan gelombang demonstrasi yang meluas di seluruh negeri. Lebih parahnya lagi, bukannya menanggapi dengan kepala dingin dan bijaksana, para anggota DPR justru mengosongkan gedung parlemen dan memilih untuk “menghilang” di tengah krisis politik yang sedang membara. Sikap membelakangi tanggung jawab ini tidak mendengarkan mandat rakyat, melainkan juga bukti nyata ketidakseriusan mereka dalam mengemban amanah.
Dalam ruang publik, kemarahan rakyat bergejolak semakin menjadi-jadi, tapi bukan hanya itu, situasi yang sudah genting ini dimanfaatkan dengan munculnya isu-isu provokatif yang sengaja diciptakan untuk memecah belah rakyat. Bila dilihat dengan jernih, ini adalah jebakan politik yang sangat licik. Alih-alih memfokuskan kemarahan pada pelaku utama, yaitu anggota DPR yang dzolim, rakyat justru diperangkap dalam pro-kontra yang seakan-akan menimbulkan konflik horisontal antar kelompok masyarakat. Provokasi ini jelas bukan kebetulan, melainkan strategi yang sistemik untuk menahan gerakan rakyat yang menuntut perubahan, sekaligus mempertahankan status quo kelompok penguasa yang merasa terancam.
Aparat keamanan yang mestinya bukanlah alat kekerasan terhadap rakyat, malah sering diposisikan sebagai “penjaga” rezim yang represif. Tindakan kekerasan terhadap demonstran yang membawa korban jiwa bukanlah cermin keamanan, melainkan cermin kegagalan negara dalam memahami akar masalahnya. Lebih tragis, korban jiwa justru semakin memperparah kemarahan rakyat dan memperdalam jurang ketidakpercayaan terhadap negara dan wakilnya di parlemen.
Dinamika sosial ini menyatakan bahwa akar masalah demokrasi Indonesia bukan hanya persoalan politik semata, tetapi juga problem struktural yang dalam, lemahnya mekanisme akuntabilitas dan transparansi dalam lembaga legislatif, serta kultur elit politik yang permisif terhadap korupsi dan kolusi. Solusi jangka panjang sangat tergantung pada reformasi menyeluruh di DPR, mulai dari pembentukan komite pengawas independen yang benar-benar representatif, hingga penguatan peran masyarakat sipil dan media dalam mengawasi kinerja wakil rakyat. Tidak kalah penting adalah perlunya pendidikan politik yang masif kepada masyarakat agar mereka paham betul bagaimana mereka dapat menuntut pertanggungjawaban wakil rakyatnya. Demonstrasi memang penting sebagai bentuk ekspresi, namun harus diiringi oleh kanal-kanal partisipasi politik yang konkret serta mendorong lahirnya pemimpin baru yang lebih berpihak kepada rakyat.
Selain itu, aparat keamanan harus menjalankan fungsi non-represif dengan prinsip humanisme dan perlindungan hak asasi manusia. Pelatihan intensif dan pengawasan ketat perlu diberlakukan agar aparat tidak menjadi alat kekerasan yang memperkeruh situasi. Pemerintah juga harus jujur mengakui kesalahan dan membuka ruang dialog tanpa pra-syarat, yang selama ini sering diabaikan. Jika DPR masih memilih jalan mengosongkan ruang perjuangan dan membiarkan rakyat semakin berada dalam penindasan, maka bukan mustahil demokrasi Indonesia akan tergelincir ke jurang otoritarianisme yang lebih suram. Rakyat tidak akan diam, amarah mereka yang terus membara akan menjadi gelombang revolusi yang tidak mudah ditahan oleh kuasa dan tentara.
Indonesia membutuhkan wakil rakyat yang berintegritas, sadar akan tugas suci mereka, dan bukan hanya sekadar penumpang elit di sistem demokrasi. Hanya dengan komitmen nyata dari DPR dan dukungan aparat yang humanis lah demokrasi di negeri ini bisa pulih dan benar-benar menjadi milik rakyat bukan milik segelintir elite yang dzolim dan haus kekuasaan. Bila tidak, maka demokrasi Indonesia tinggal sebuah fatamorgana, sebuah sistem yang berwajah demokrasi namun berjiwa tirani.